MAHKAMAH KONSTITUSI NEGARA REPUBLIK INDONESIA SAAT INI MEMBUTUHKAN SENTUHAN LAIN DARI SISI HUKUM

(Memperbaiki kepercayaan masyarakat Indonesia atas MK dengan Perpu)

 

PENDAHULUAN

Pasal 1 ayat (3) UUD 1946 meenyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Julius Sathl konsep negara hukum didalamnya terdapat 4 elemen penting yang salah satunya adalah pembagian kekuasaan. Berangkat dari pemikiran Stahl terdapat sebuah teori dari Montesquieu, seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu[1]:

a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).

b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).

c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).

Hal tersebut dikemukakan oleh Montesquieu agar penguasa tidak sewenang-wenang. Dapat ditarik sebuah gagasan bahwa dengan adanya pembatasan kekuasaan terhadap pemerintah dan tidak terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah akan tercipta penegakan hukum yang tertib di dalam bernegara, sehingga jika diaplikasikan di negara kita akan tercipta sebuah negara hukum yang adil. Pembagian kekuasaan sangat penting diaplikasikan dalam suatu negara, di Indonesia hal tersebut terlihat pengaplikasiannya dengan adanya MPR, DPR dan DPD sebagai pemegang kekuasaan Legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sebagai kekuasaan Eksekutif serta MA dan MK sebagai pemegaang kekuasaan Yudikatif.

Semua lembaga-lembaga tersebut harus berjalan dengan beriringan sesuai dengan aturan hukum yang ada sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing. Penjaminan atas kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara tersebut terdapat di dalam UUD 1945. Ketika salah satu dari lembaga-lembaga tinggi negara tersebut tidak berjalan sesuai dengan tugas dan kewenangannya maka akan terjadi suatu kebobrokan dalam suatu negara dalam hal ini Negara Republik Indonesia dan akan ssulit untuk memperbaharuinya.

Prof. Doctor Soeharso mengemukakan ”Right or wrong my country, lebih-lebih kalau kita tahu[2], Negara kita dalam keadaan bobrok, maka justru itu pula kita wajib memperbaikinya.” Saat ini salah satu Lembaga Tinggi Negara Republik Indonesia teptnya Mahkamah Konstitusi sedang diguncang oleh bencana yang besar. Ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi oleh KPK adalah awal dari musibah besar yang menimpa Mahkamah Konstitusi, mengingat Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi yang memiliki kewenangan yang berbeda dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah ditegaskan UUD 1945[3], diantaranya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Peran Mahkamah Konstitusi di Negara Republik Indonesia adalah sebagai lembaga yang menjunnjung tinggi hukum, namun ketika terjadi permasalahan didalam internal Mahkamah Konstitusi itu sendiri, bagaimana dengan penegakan hukum di Masyarakat? bagaimana seharusnya pemerintah memperbaiki eksistensi kelembagaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara yang menjunjung tinggi hukum? apakah perlu adanya lembaga lain untuk mengawasi kinerja Mahkamah Konstitusi serta hakim-hakimnya? Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengupas permasaalahan yang terjadi pada salah satu Lembaga Negara yakni Mahkamah Konstitusi.

PEMBAHASAN

Di Negara Republik Indonesia terdapat dua kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court of law’. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.[4]

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[5] Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam UUD 1945, diantaranya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Hakim Konstitusi terdiri dari sembilan orang yang diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung.[6] Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal.

Ketika terjadi permasalahan di dalam kelembagaan Mahkamah Konstitusi, yaitu tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi oleh KPK pada Rabu (2/10/2013) malam pukul 21.45 WIB.[7] atas dugaan kasus suap maka telah terjadi kekosongan hakim di dalam Lembaga Tinggi Negara tersebut, sehingga berdampak terhadap kepercayaan masyarakat di Negara Republik Indonesia atas Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Menurut Menteri Koordinator Politik Hukum HAM dan Keamanan Djoko Suyanto menanggapi paska tertangkapnya Ketua MK non aktif Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Satu langkah penyelamatan yang mengemuka pada saat ini adalah perlunya diterbitkan Perpu.[8]

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“Perpu”) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):

“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (atau disingkat Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.[9]

Maria Farida mengatakan bahwa selama ini UU selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perpu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.”[10]

Jadi dapat diambil sebuah gagasan bahwa perpu dapat dibentuk dalam hal ini untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat atas kelembagaan Mahkamah Konstitusi asal melalui prosedur yang benar, sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Perpu tersebut disetujui oleh DPR dan kemudian disahkan oleh Presiden.Substansi dari Perpu MK yang baru saja ditandatangani, ada tiga hal yaitu penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dan perbaikan sistem pengawasannya. Pertama, syarat hakim konstitusi sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf i yang ditambah kalimat “tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi”.

Substansi berikutnya, mengenai mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi disempurnakan sehingga memperkuat prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sesuai dengan harapan dan opini publik. Hal ini tercantum dalam pasal 19 Undang Undang MK. Sebelum ditetapkan oleh presiden pengajuan calon hakim konstitusi oleh Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan atau presiden lebih dulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan panel ahli.

Panel ahli yang berjumlah tujuh orang, dibentuk oleh Komisi Yudisial. Mereka terdiri dari satu orang diusulkan MA, satu orang diusulkan DPR, satu orang diusulkan oleh presiden dan empat orang yang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi dan praktisi di bidang hukum.

Substasi terakhir, perbaikan sistem pengawasan yang lebih efektif dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang permanen tetapi tetap menghormati idependensi hakim konstitusi. Majelis kehormatan, dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial (KY) dan MK dengan susunan keanggotaan lima orang. Kelima orang tersebut, terdiri dari satu orang mantan hakim konstitusi, satu orang praktisi hukum, dua orang akademisi yang satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum dan satu orang tokoh masyarakat. Untuk mengelola dan membantu administrasi MKHK dibentuk sekretariat yang berkedudukan di KY. [11]

            Beberapa poin dalam usulan perpu yang diajukan Presiden diatas sesuai dengan kondisi genting saat ini, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi memang perlu adanya solusi yang cepat dan tepat yang diambil oleh pemerintah. Dengan dibuatnya perpu dapat dikatakan pemerintah telah melaksanakan perbaikan atas kondisi hukum di Negara Republik Indonesia saat ini. Kemudian memperbaiki mekanisme pemilihan hakim agung adalah solusi tepat agar terciptanya penegakan hukum dan transparansi atas salah satu Lembaga Tinggi di Negara Indonesia. Terakhir, bahwa pemerintah secara cepat mengambil langkah bahwa mekanisme pengawasan internal MK perlu diperbaiki menandakan tidak perlu adanya lembaga baru untuk mengawasi MK itu sendiri beserta hakim-hakimnya secara eksternal. Poin-poin yang ada dalam usulan perpu No. 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang sangat tepat, aplikatif dan sesuai dengan kondisi Negara Republik Indonesia saat ini.

PENUTUP

Telah terjadi permasalahan pelik di dalam Kelembagaan Mahkamah Konstitusi dengan tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi atas kasus suap. Sehingga berpengaruh terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya diantaranya adalah pembentuka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagai usaha penegakan hukum agar mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi. Perpu tersebut telah memuat pengaturan mengenai persyaratan calon hakim, mekanisme pemilihan hakim, dan sistem pengawasan internal Mahkamah Konstitusi. Sehingga tidak perlu adanya pengawasan eksternal atas hakim konstitusi atau bahkan dibentuknya lembaga baru untuk mengawasi hakim-hakim konstitusi. Hal tersebut adalah solusi yang tepat dan sesuai dengan Kondisi Negara Republik Indonesia saat ini.

Fatha Sayyidah

Staff Biro Kajian Kebijakan Kampus dan Publik

Badan Eksekutif Mahasiswa FH UNPAD

[1] Montesquieu, L’esprit des Lois, 1748, hlm. …

[2] Pesan Prof. Dr. Suharso sebagai Nasionalis dan Patriot, 1912-1971, Pahlawan Nasional Indonesia

[3] Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

[4] http://www.jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/

[5] Pasal 24 ayat (1) UUD 1945

[6] Pasal 24 C Aayat (3) UUD 1945

[7]http://nasional.kompas.com/read/2013/10/03/0008400/Mahfud.MD.Sekjen.MK.Berteriak.Histeris.Ketua.MK.Ditangkap.KPK

[8]http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/17/sby-tandatangani-perpu-mk-di-gedung-agung

[9] http://id.wikipedia.org

[10] Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya, hlm. 80

[11] Op,cit.