Mengenai Undang-Undang ORMAS

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat peliknya pertentangan UU Ormas dari perspektif yang agak berbeda. Penulis tidak menuliskan banyak mengenai pasal-pasal yang dipermasalahkan , karena penulis tidak menitikberatkan tulisan ini pada pasal-pasal yang dipermasalahkan tapi menitikberatkan pada UU ormas secara keseluruhan dikaitkan dengan hakekat dari hak berkumpul dan berserikat rakyat Indonesia.

  1. Pemahaman tentang Hak Berkumpul dan Berserikat

Manusia sebagai homo socius memiliki kecenderungan untuk berkumpul dan berserikat untuk memenuhi keinginan dan kebetuhannya. Thomas Hobbes mengemukakan bahwa setiap manusia memiliki kodrat yang sama, dimana masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions) yang menggerakan tindakan manusia. Appetite manusia berupa hasrat akan kekayaan, pengetahuan, dan kehormatan, sedangkan aversions manusia berupa keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Untuk mencapai hal-hal tersebut, manusia akan cenderung bekerja bersama. Manusia akan cenderung membentuk sebuah lembaga ekonomi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi nya, membentuk lembaga pendidikan untuk memenuhi pengetahuannya, ataupun misalnya bersama-sama membentuk sebuah lembaga yang fungsinya mengawasi pemerintah bilamana kebijakan pemerintah menyengsarakan masyarakat. Dari penjabaran Hobbes di atas, kita mendapat pengertian bahwa berkumpul dan berserikat merupakan hak asasi manusia.

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, kemerdekaan berserikat dan berkumpul merupakan salah satu ekspresi pendapat dan aspirasi atas ide yang disalurkan dengan cara bekerja sama dengan orang lain yang memiliki ide dan aspirasi yang sama.[1]

Hak kebebasan berkumpul dan berserikat juga dijamin pada :

–          Universal declaration of human rights artikel 20 (1) dan sub title (2) artikel 20

–          International convenant on civill and political rights dalam artikel 21(5)

–          The convention on the elimination of racial discrimination of 1966 artikel 5(d)(ix)

Pasal 28 UUD 1945 sebelum amandemen mengatakan bahwa “Kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal tersebut oleh Drs. Jacob Tobing mengandung pengertian bahwa kebebasan berserikat adalah pemberian Negara melalui undang-undang. Amandemen UUD 45 tahap ke-2 tahun 2000 mempertegas dan sekaligus memperluas makna kebebasan berserikat dalam UUD 1945. Isi Pasal 28 tersebut di atas “Kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” tetap dipertahankan tetapi esensi kebebasan berserikat ditegaskan bukan sebagai pemberian negara, tetapi sebagai bagian dari hak asasi manusia yang melekat pada warga dan dihargai oleh Negara. Pasal 28E ayat (3) menegaskan bahwa “Setiap orang  berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka membentuk suatu perserikatan untuk memenuhi kebutuhannya adalah naluri dasar manusia, dari pemahaman tersebut lahirlah apa yang kitakenal dengan Organisasi Masyarakat. Organisasi masyarakat ini dibentuk secara sukarela yang bergerak sesuai tujuan-tujuan yang ditentukan, bisa bergerak di bidang ekonomi, politik maupun sosial.

Dari penjabaran diatas, maka kebebasan berkumpul dan berserikat merupakan hak fundamental atau asasi. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah hak ini dapat dibatasi? John Locke berpendapat bahwa hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang dibatasi oleh hak asasi yang dimiliki oleh orang lain. Begitu pula Prof. Bagir Manan yang senada dengan John Locke, berpendapat bahwa hak asasi manusia tidak boleh bertentangan dengan hak asasi orang lain. Oleh karena itu, setiap hak kebebasan berserikat dan berkumpul tidak boleh dijadikan hak kebebasan yang sebebas-bebasnya. Hak tersebut perlu dibatasi dan dilindungi oleh hukum supaya hak asasi setiap orang tidak dirampas oleh hak kebebasan orang lain. Terlebih lagi Indonesia sebagai Negara hukum yang cita-cita bangsa dijamin dalam konstitusi.

  1. Pandangan Rakyat Indonesia terhadap ORMAS

Seringkali banyak Ormas yang mengklaim organisasinya sebagai ‘suara’ yang mewakili kelompok tertentu, bahkan mewakili aspirasi rakyat. Manakala kebijakan pemerintah dinilai merugikan suatu kelompok masyarakat tertentu maupun merugikan Rakyat Indonesia secara keseluruhan, maka Ormas-ormas tersebut akan melakukan berbagai aksi-aksi protesnya.

Namun , apakah pemahaman rakyat akan ‘ormas’ sama dengan pemahaman para wakil rakyat dan para ormas itu sendiri seperti yang tersirat dalam UU ormas baik yang lama maupun yang baru?

Luasnya definisi ormas dan berbagai konsekuensi politi sebagai akibat pemberlakuan UU Ormas tak terlalu jadi pemahaman publiik. Sebaliknya, sebagian public justru melihat dalam konotasi lebih sempit, dimana ‘ormas’ dilihat sebatas organisasi menyimpang yang menggunakan kekerasan.

Berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas pada tahun 2010, skeptisme masyarakat terhadap ormas terekam sebagai berikut :

–          92,3 persen responden merasa resah dengan penyerangan terhadap kelompok tertentu

–          92,9 persen mengaku resah saat melihat ormas melakukan demonstrasi dengan kekerasan

–          82,0 persen resah dengan ormas yang melakukan penyisiran terhadap pihak yang berbeda pendapat

–          81,5 persen resah dengan ormas yang melakukan penutupan tempat ibadah milik kelompok lain.

Skeptisme publik tersebut kembali terungkap dari jajak pendapat Litbang Kompas yang Juli 2013 sebagai berikut :

–          58,7% responden menilai kehadiran ormas tidak membawa manfaat bagi kepentingan kelompok masyarakat yang diwadahi.

–          70,8% responden menilai citra ormas buruk

–          88,4% responden setuju bila Negara diberi kekuasaan lebih besar untuk menutup ormas anarkis.

–          79,3% responden menyatakan upaya pemerintah selama ini belum efektif dalam menertibkan ormas yang melakukan tindakan bernuansa SARA

–          80,4% responden menyatakan upaya pemerintah selama ini belum efektif dalam menertibkan ormas yang menyerang kelompok minoritas

–          79% responden menyatakan upaya pemerintah selama ini belum efektif dalam menertibkan ormas yang melakukan tindakan anarkitis dan mengganggu ketertiban umum

–          75,2% responden menyatakan upaya pemerintah selama ini bel

Dari hasil jajak pendapat diatas, fakta yang kita dapat adalah bahwa ternyata masyarakat (terlepas dari alasan apapun) kebanyakan masih belum paham tentang esensi dari ormas atau masyarakat mengerti namun perilaku ormas tidak sesuai dengan pemahaman masyarakat.

  1. Analisis & kesimpulan

  1. Berkumpul dan berserikat merupakan salah satu tindakan naluriah manusia untuk menunjang kehidupannya, oleh karena itu berkumpul dan berserikat merupakan sebuah hak asasi manusia yang di akui oleh dunia.

ORMAS lahir dari hasrat manusia untuk berkumpul dan berserikat. Maka, ORMAS merupakan manifestasi dari hak asasi manusia untuk berkumpul dan berserikat.

  1. Rakyat Indonesia yang begitu banyak jumlah nya, menilai ORMAS yang ada sekarang sebagai hal yang tidak baik (berdasarkan hasil jajak pendapat).

Padahal, ORMAS adalah manifestasi dari hak asasi manusia, manifestasi dari hak asasi rakyat Indonesia.

Bukankah seharusnya sebagai manifestasi dari sebuah hak asasi bangsa Indonesia, seharusnya rakyat Indonesia mendukung ormas?

  1. Maka menurut kami, permasalahan dari kontroversi UU ormas ini bertitik berat pada ‘apakah UU ormas dapat membentuk dan menciptakan ormas-ormas yang dapat di hargai, di apresiasi, bahkan di jadikan tumpuan serta andalan oleh Rakyat Indonesia?’

  1. dalam perkembangan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia terdapat prinsip-prinsip Maastricht –yang dirumuskan oleh ahli-ahli hukum internasional dalam CESCR–, Negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Dengan dipecahkan nya permasalahan tersebut, artinya negara menghargai (to respect), melindungi (to protect) sekaligus memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia dalam berkumpul dan berserikat.

  1. Dibentuknya UU ormas menurut kami merupakan suatu solusi atas keresahan masyarakat terhadap perilaku ormas di Indonesia. Menurut Human Rights Education Associates, hak berkumpul dan berserikat, dalam hal ini dapat pula ditafsirkan sebagai ormas, dapat dibatas sejauh tidak mengganggu keamanan nasional maupun keamanan public. Dijelaskan pula bahwa hanya Ormas tindakan serta aksinya damai yang dilindungi oleh Negara.

  1. Bila yang dipermasalahkan adalah pasal-pasal yang terkandung, mohon maaf saudara-saudara, menurut pemahaman kami pada dasarnya hampir semua pasal dalam undang-undang apapun baik adanya. Seluruhnya tergantung pada penegakan hukum nya. bila penegakan hukum di suatu Negara buruk, kami yakin Undang-undang yang dirancang apapun juga tidak akan baik bagi rakyat. Kembali lagi bahwa berjalannya hukum disuatu Negara sangat bergantung pada keadaan politik di Negara tersebut

  1. Dan bila dikatakan dengan adanya UU ormas maka Negara Indonesia akan disamakan dengan Negara-negara komunis ataupun otoriter, mohon maaf, janganlah kita memprioritaskan ‘gengsi negara’ tapi terlebih dahulu kita mendengar ‘suara rakyat’.

  1. Mungkin memang tulisan ini klise dan terlalu umum. Namun memang itulah masalah bangsa kita, tak dapat menyelesaikan masalah-masalah klise dan umum

[1] ( Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2005