Corgito Ergo Sum

Pendahuluan

Kebijakan mobil murah ramah lingkungan/ Low Cost Green Car (LCGC) yang dicanangkan pemerintah pada 23 Mei 2013 lalu menuai perdebatan panjang. Kebijakan yang dipayungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut memungkinkan rakyat memiliki mobil hanya dengan harga 70-120 juta rupiah per unit, dan dinilai merupakan langkah mundur pemerintah dalam mengurangi kemacetan di kota-kota besar. Beberapa pihak juga menilai kebijakan tersebut kontradiktif dengan 17 Langkah Menyeluruh Untuk Mengurangi Kemacetan DKI Jakarta yang diputuskan pemerintah melalui Wakil Presiden Boediono dalam rapat yang dihadiri sejumlah menteri dan pejabat di antaranya Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, mantan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, mantan Menteri BUMN Mustafa Abubakar, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, serta mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada 2010 lalu. Tak ayal, kebijakan yang disahkan oleh menteri perindustrian MS Hidayat tersebut ditentang oleh beberapa pemimpin daerah seperti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Walikota Bandung Ridwan Kamil.

Sebelum menyatakan pro atau kontra terhadap kebijakan LCGC tersebut, ada baiknya kita mengkaji beberapa hal yang mendasari pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, juga alasan mengapa beberapa pihak menyatakan kontra terhadap kebijakan tersebut.

Alasan Pemerintah Dibalik Kebijakan Mobil Murah

Seiring dengan bergulirnya perdebatan mengenai pro kontra kebijakan mobil murah atau LCGC, patut dipertanyakan pula alasan pemerintah mengesahkan kebijakan tersebut. Jika dilihat lebih lanjut, terdapat beberapa alasan utama kebijakan mobil murah, yaitu:

  1. Adanya Kebutuhan atas Low Cost Green Car

Aspek yang paling perlu disorot dalam kebijakan ini adalah fakta bahwa LCGC adalah suatu proyek nasional yang memberikan alternatif baru bagi masyarakat Indonesia dalam memilih sarana transportasi. Masyarakat kelas menengah ke bawah kini dihadapkan pada suatu permasalahan sehari-hari berkaitan dengan sarana transportasi. Kita melihat adanya kenyataan bahwa hingga saat ini belum ada sarana angkutan umum yang baik bagi masyarakat, terutama di wilayah non-metropolis. Hal ini memicu masyarakat yang tidak mampu membeli mobil untuk beralih pada mode transportasi lain, yaitu sepeda motor.

Hal ini menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Pertama-tama karena sepeda motor pada hakikatnya bukanlah kendaraan ideal untuk menempuh perjalanan jarak jauh. Sepeda motor juga memiliki berbagai kelemahan lain, misalnya mengenai keamanan pengendara yang sangat kurang, keselamatan yang tidak reliable, konsumsi bensin bersubsidi yang seringkali boros, dan sebagainya.

Lebih lanjut dapat dilihat bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya tingkat kemacetan, ketidakteraturan, dan kecelakaan di jalan adalah jumlah sepeda motor yang sangat besar. Sepeda motor memang merupakan suatu kendaraan yang amat populer karena harganya yang terjangkau dan pengendaraannya yang praktis. Akan tetapi, sepeda motor juga berkontribusi terhadap bagian besar kemacetan dan polusi, terutama justru karena jumlahnya yang membeludak.

Oleh karena itulah, pengadaan LCGC justru akan membantu mengurangi kemacetan dengan mengurangi penggunaan sepeda motor di kalngan masyarakat menengah bawah. Keluarga yabg memiliki anak akan cenderung memilih LCGC daripada kerepotan menggunakan sepeda motor. Kebalikan dari prasangka umum bahwa pengadaan mobil murah akan menambah kemacetan, justru adanya mobil murah akan membuat sejumlah besar keluarga untuk beralih pada mobil yang nyaman, hemat, dan bergengsi alih-alih menambah jumlah motor yang berkapasitas terbatas, kurang nyaman, dan boros.

Poin plus dari pengurangan jumlah motor dan beralihnya masyarakat pada LCGC adalah berkurangnya juga jumlah polusi. Penyumbang terbesar dari polusi adalah kendaraan pribadi seperti motor. LCGC memiliki keunggulan besar di bidang ini. Penggunaan bensin yang jauh lebih hemat, dengan batas minimal 20-22 km/liter adalah salah satu faktor yang membuat LCGC layak diperhitungkan secara serius untuk mengurangi masalah polusi perkotaan. Berkurangnya jumlah kendaraan dan konsumsi bensin tentu saja akan mengurangi pula polusi udara di lingkungan.

  1. Menjaga kepercayaan investor

Meski terdapat kritik pedas terhadap kebijakan LCGC, sesungguhnya pembatalan proyek ini akan menjadi suatu bencana besar bagi reputasi Indonesia di hadapan dunia. Para investor akan kehilangan kepercayaan karena kebijakan pemerintah terbukti dapat berubah seiring setiap instabilitas atau ketidakpuasan dari masyarakat yang seringkali kurang memahami permasalahan dalam suatu kebijakan.

Pemerintah dalam prinsipnya harus berhati-hati dan memiliki pertimbangan yang baik dalam setiap pembuatan kebijakan. Namun setelah kebijakan tersebut dirumuskan, ia tidak boleh dengan mudah tertiup opini publik yang menentangnya tanpa alasan jelas. Dalam kasus ini, masyarakat yang condong pada pandangan Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang tengah populer, cenderung tidak menyetujui adanya kebijakan LCGC karena dianggap akan menambah kemacetan di DKI Jakarta. Dalam hal inilah ketegasan dan kebijakan pemerintah akan diuji. Sebagai respon dari protes yang dilaksanakan sebagian masyarakat, pemerintah perlu memberikan pengertian yang jelas atas tujuan dan lingkupan kebijakan ini yang tidak terbatas pada DKI Jakarta, namun mencakup juga berbagai daerah yang merasakan kebutuhan lebih mendesak atas LCGC.

Dengan mempertahankan ketegasan inilah pemerintah dapat mempertahankan kepercayaan investor serta menjaga wibawa pemerintah dalam membuat suatu kebijakan.

  1. Dalam daerah yang padat, jumlah LCGC dapat dengan mudah dikendalikan

Pandangan bahwa LCGC akan menambah jumlah kendaraan dan kemacetan di beberapa daerah yang memang memiliki masalah kemacetan yang pelik tentunya harus dimaklumi. Dalam pandangan masyarakat, terutama penduduk DKI Jakarta, pengadaan LCGC akan menambah drastis jumlah kendaraan yang sudah menyesaki Ibu Kota. Hal ini tentu kontraproduktif dengan

Namun hal ini bukan tanpa solusi yang baik. Apabila suatu daerah merasa tidak memerlukan LCGC, terdapat berbagai kebijakan yang bisa diaplikasikan untuk mengontrol serta mengurangi jumlah kendaraan baru ini. Salah satunya adalah hak pemerintah daerah untuk menaikkan zonasi parkir secara progresif. Pemda juga dapat mengurangi jumlah kendaraan dengan menertibkan masyarakat yang memarkir mobil di pinggiran jalan dengan tilang dan penderekan mobil-mobil tersebut. Hal-hal ini dapat mencegah adanya LCGC berlebih di tempat yang sesungguhnya tidak terlampau memerlukan LCGC.

  1. LCGC sebagai pengganti sementara selama pemerintah membangun sarana transportasi umum

LCGC tentunya bukan solusi yang sempurna karena tidak dapat memenuhi kepentingan setiap orang. Meskipun LCGC dapat memberikan berbagai kemudahan dan keuntungan, pada akhirnya pemerintah masih bertanggung jawab pada masyarakat untuk menyediakan transportasi umum yang baik, nyaman, tertib, dan efisien.

Namun realita tidak mengizinkan kita untuk mengasumsikan bahwa pemerintah dapat menyulap berbagai proyek transportasi umum dari udara kosong, bahkan dengan mengucurkan dana triliunan. Ada proses pembangunan yang seringkali memerlukan waktu cukup panjang, lima hingga sepuluh tahun hanya untuk mempersiapkan. Ini pun belum menjamin efisiensi pengoperasiannya dan berbagai tantangan lain.

Masyarakat memerlukan solusi yang lebih cepat, salah satunya dengan menggunakan LCGC sebagai kendaraan pengganti untuk masyarakat.

Alasan beberapa pihak lain menentang kebijakan mobil murah

  1. Kebijakan mobil murah kontradiktif dengan 17 Langkah Menyeluruh Untuk Mengurangi Kemacetan DKI Jakarta

Pada 2010 lalu, pemerintah melalui wakil presiden Boediono menetapkan 17 Langkah Menyeluruh Untuk Mengurangi Kemacetan DKI Jakarta. Langkah-langkah tersebut di antaranya penerapan electronic road pricing (ERP), sterilisasi dan penambahan jalur Transjakarta, perbaikan jalan, kebijakan perparkiran, penetapan harga gas bagi angkutan transportasi, restrukturisasi angkutan jalan raya, perbaikan pengelolaan angkutan kereta api, pembuatan jalur ganda berganda (double-doubletrack) keretaapi, pembangunanjalurrelkereta api lingkar dalam kota, penambahan jalan tol, peninjauan penggunaan kendaraan kecil bagi angkutan transpor taksi, hingga larangan angkutan liar.

Yang perlu disoroti tentunya poin keenambelas, yaitu melakukan pengaturan jumlah kendaraan secara optimal dengan menggunakan instrumen yang ada. Kebijakan mobil murah yang dicanangkan pemerintah tentu sangat kontradiktif dengan poin tersebut. Volume kendaraan akan bertambah, kemacetan tidak akan terselesaikan malah akan menjadi semakin parah apabila tidak diiringi dengan perbaikan infrastruktur oleh pemerintah, sehingga akan sia-sia usaha selama 3 tahun menjalankan 17 langkah mengurangi kemacetan DKI Jakarta tersebut.

Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) di Balai Kota, Jakarta, Selasa (24/9/2013), mengaku telah menyertakan 17 langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi kemacetan, di dalam surat keberatannya kepada Wakil Presiden Boediono perihal mobil murah. Jokowi menegaskan bahwa yang dibutuhkan rakyat bukanlah mobil murah melainkan transportasi massal yang memadai.

  1. Inkonsistensi dan tidak jelasnya tujuan pemerintah dalam menjalankan kebijakan mobil murah

Pada Kamis (19/9/2013) di JIExpo Jakarta, menperin MS Hidayat mengatakan bahwa mobil murah harus diisi oleh bahan bakar Ron 92 atau setara dengan pertamax, dan pemerintah sedang merancang pemberian sanksi terhadap pemilik LGCG yang menggunakan premium. Hidayat mengatakan larangan tersebut guna mencegah jebolnya penggunaan BBM bersubsidi.

Hal tersebut menjadi janggal sebab kebijakan mobil murah membidik pangsa pasar menengah kebawah dan memiliki tujuan ‘mulia’ agar rakyat menengah kebawah dapat memiliki mobil. Amat diherankan apabila pemerintah mengharuskan pemilik mobil murah menggunakan BBM non subsidi, sementara mobil-mobil yang lebih mahal masih banyak yang mengantri BBM subsidi.

Lagipula, tujuan awal pemerintah memberikan kemudahan bagi rakyat menengah kebawah untuk memiliki mobil tentu sama sekali tidak dilandasi oleh pengkajian secara sosiologis, sebab rakyat menengah kebawah bukan membutuhkan mobil, melainkan kebutuhan pokok dan jaminan kesehatan serta pendidikan.

Selain itu range harga 70-120 juta Rupiah yang dipatok untuk mobil LCGC tentu tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah, melainkan masyarakat menengah. Pada akhirnya masyarakat kelas bawah hanya akan menikmati dampak kemacetan yang semakin parah seiring dengan dijalankannya kebijakan LCGC tersebut, sementara keuntungan terbesar tentu hanya akan masuk ke dalam pundi-pundi para investor.

  1. Pembatasan distribusi mobil murah per wilayah tidak efektif

Sebelumnya Menperin MS Hidayat mengatakan bahwa pendistribusian mobil akan merata ke seluruh Indonesia dan akan dibatasi per wilayahnya, sehingga akan mengurangi dampak kemacetan di daerah perkotaan seperti Jakarta dan Bandung. Namun, pengamat otomotif Suhari Sargo pada Minggu (22/9) mengatakan bahwa meskipun pendistribusian dilakukan merata ke seluruh daerah di Indonesia, pembengkakan tetap akan terjadi di wilayah perkotaan. Hal senada juga diungkapkan oleh Pengamat Transportasi dari Universitas Gajah Mada Djoko Setijowarno. Dia menambahkan, distribusi mobil murah tersebut tetap akan berpusat di Pulau Jawa. Sebab rakyat di daerah Indonesia Timur tidak tertarik membeli mobil tersebut karena infrastruktur disana kurang memadai, hingga pada akhirnya mobil murah hanya akan dinikmati orang-orang perkotaan. Menurut Djoko, perputaran uang di Indonesia, 60% terjadi di Jakarta, dan 30% pasaran mobil di Indonesia saat ini berputar di Jabodetabek.

  1. Pembentukan PP no 41 tahun 2013 terlalu tergesa-gesa

PP No 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dinilai terlalu tergesa-gesa dan pembentukannya tidak memiliki landasan sosiologis dan akademis. Seperti yang dikemukakan oleh pengamat perkotaan Yayat Supriatna pada Jumat (20/9) lalu, sebelum memutuskan untuk mencanangkan kebijakan LCGC, seharusnya pemerintah mengkaji terlebih dahulu dampaknya kedepan, sedangkan pada kenyataannya pemerintah begitu saja mengesahkan kebijakan LCGC. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut tidak memiliki landasan akademis. Selain itu Yayat juga mengatakan bahwa pembentukkan PP tersebut juga tidak diimbangi dengan regulasi lain. Misalnya dengan pengetatan SIM dan razia lalulintas.

Uchok Sky Khadafi, Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran ( FITRA) mengatakan bahwa pemerintah hanya tergiur dengan pendapatan pajak mobil yang tidak terlalu besar dan tidak memikirkan penambahan ruas jalan atau infrastruktur. Adapun pendapatan yang ingin diraih oleh pemerintah di antaranya berasal dari surat izin mengemudi, yang ditargetkan sebesar Rp 1 triliun. Kedua, pendapatan surat tanda nomor  kenderaaan (STNK) hanya sebesar Rp1 Triliun dan pendapatan surat tanda coba kendaraan (STCK) hanya sebesar Rp32,1 Milyar. Selain itu juga pendapatan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKP) sebesar Rp1 Triliun dan pendapatan tanda nomor kenderaan bermotor (TNKB) sebesar Rp897,3 miliar, pendapatan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator sebesar Rp284,5 miliar, dan pendapatan denda pelanggaran lalu lintas hanya sebesar Rp2,4 miliar. Padahal pendapatan-pendapatan tersebut tidak sebanding dengan dampak kemacetan dan polusi yang dihasilkan.

Kesimpulan

Polemik kebijakan Low Cost Green Car (LCGC) merupakan bukti gegabahnya pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan. Kebijakan LCGC tersebut dibuat dengan tergesa-gesa tanpa pengkajian mengenai penambahan infrastruktur, ataupun penambahan ruas jalan, juga tanpa pengkajian secara sosiologis mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat menengah kebawah. Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan pula bahwa pada akhirnya kebijakan Low Cost Green Car hanya akan dapat dinikmati oleh kalangan menengah keatas dan investor mobil, sementara rakyat menengah kebawah sebagai sasaran awal, pada akhirnya hanya akan merasakan dampak kemacetan dari bertambahnya jumlah mobil.

Aisyah Shaumasari Maulana

Staff Biro Kajian Kebijakan Kampus dan Publik

BEM FH UNPAD