Corgito Ergo Sum
Pendahuluan
Usaha untuk memperbaiki kesehatan masyarakat bermula dari kaum muda. Hal ini lebih terasa kebenarannya dalam menghadapi salah satu masalah kesehatan dan sosial yang paling parah, yaitu masalah rokok. Perilaku merokok membunuh enam juta orang setiap tahunnya, jumlah yang masih menambah meski telah dilawan oleh berbagai pihak. Di Indonesia sendiri, persentase jumlah perokok aktif mencapai nilai 67% untuk laki-laki dewasa, di mana 51% di antaranya adalah daily smokers.[1]
Masalah utama rokok adalah bahwa ia tidak membunuh secara langsung; efek rokok dalam menurunkan kesehatan baru terasa beberapa tahun sejak mulai merokok secara rutin, dan ketika efek merugikan ini mulai dirasakan seorang perokok sudah terlanjur kecanduan nikotin. Hasilnya, para perokok sendiri tidak ingin berhenti meski sudah merasakan beberapa efek buruknya. Lebih parah lagi, efek rokok bukan hanya tertunda beberapa tahun lalu otomatis membunuh seseorang. Tidak, efek rokok menumpuk perlahan-lahan selama puluhan tahun sebelum menyebabkan kematian.[2]
Hal ini dikombinasikan dengan kuatnya pemasaran rokok pada kaum muda[3] kemudian menciptakan suatu lingkaran yang terus berkembang. Rokok yang telah mengakar sebagai bagian dari ‘tumbuh dewasa’ secara otomatis menarik remaja baru merokok, dan mendapatkan pelanggan jangka panjang yang baru.[4] Dan kesehatan masyarakatpun semakin buruk, karena dengan semakin banyaknya perokok aktif, perokok pasifpun akan semakin bertambah.
Untuk menghentikan kerusakan jangka panjang ini, diluncurkanlah kampanye multilevel untuk menghentikan masyarakat merokok melalui edukasi dan serangkaian peraturan pembatasan-pembatasan rokok. Salah satu dari rangkaian peraturan ini adalah dengan membuat kebijakan Kawasan Merokok dalam Kampus. Secara sederhana, kebijakan ini melarang semua orang merokok di dalam kampus, kecuali dalam kawasan khusus merokok. Dengan demikian, diharapkan bahwa lingkungan kampus dapat menjadi lebih sehat. Fokus utama kebijakan ini adalah perlindungan bagi para perokok pasif.
Dasar Hukum Kawasan Merokok dalam Kampus
Berbagai universitas sebetulnya telah terlebih dahulu mencoba memerangi rokok di dalam kampus. Secara umum terdapat dua cara untuk mengurangi pengaruh rokok di kampus, yaitu dengan membuat area kampus seratus persen tanpa rokok, atau dengan membatasi efek rokok pada daerah-daerah tertentu. Penerapan kawasan merokok dalam kampus tentu saja adalah bagian dari golongan kedua.
Mengapa kita tidak membuat kawasan kampus yang bebas rokok sekaligus? Pertimbangan awalnya, jika seluruh area kampus dijadikan area tanpa rokok, akan ada kesulitan besar dalam menegakkan peraturannya. Belum lagi memperhitungkan dosen dan karyawan yang juga merokok. Jika aturan ini dipaksakan sedang mekanisme penjalanannya belum lancar, bisa jadi seluruh inisiatif ini menjadi sekedar wacana yang mudah diabaikan.
Solusi alternatif ditawarkan dengan mengadakan area-area khusus untuk merokok. Dengan adanya area ini, semua perokok tidak sungguh-sungguh dituntut untuk berhenti merokok. Hanya saja, perilaku merokok mereka akan diatur agar tidak memberi efek negatif besar pada lingkungan, kebersihan, dan orang-orang di sekitar mereka. Peraturan ini akan jauh lebih mudah ditelan oleh kaum perokok.
Sebenarnya, kebijakan penerapan kawasan merokok dalam kampus adalah perluasan dari berbagai dasar hukum yang tegas. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4, kita menemukan pasal 28 H (1) yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperole pelayanan kesehatan”
Dasar ini kemudian ditegaskan kembali melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 115 dari UU tersebut menyatakan dengan sangat jelas bahwa “tempat proses belajar mengajar” adalah kawasan tanpa rokok. Namun sekilas masih terdapat pertanyaan, apakah kondisi kampus harus disesuaikan dengan pasal 115 atau dengan pengecualian yang disebutkan dalam penjelasan UU tersebut? Dalam ayat (1) dari penjelasan pasal 115, ditemukan suatu klausul yang menyatakan bahwa suatu tempat kerja atau tempat umum dapat menyediakan lokasi khusus untuk merokok.
Jadi yang mana? Jawaban pertanyaan ini dapat ditemukan dalam Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 Nomer 7 Tahun 2011, pasal 1 (2) yang menyatakan bahwa Kawasan Merokok (“Tempat Khusus untuk Merokok”) memang berlokasi di dalam suatu Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Namun, terdapat masalah lebih lanjut ketika kita meneliti pasal 4 dari Peraturan bersama ini, yang dengan sangat jelas menyatakan bahwa:
“KTR sebagaimana dimaksud oleh pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b (tempat proses belajar mengajar) , huruf c, huruf d, dan huruf e dilarang menyediakan tempat khusus untuk merokok dan merupakan KTR yang bebas dari asap rokok hingga batas terluar.”
Barangkali sekilas inipun menimbulkan halangan besar terhadap adanya kawasan merokok dalam kampus. Namun, jika diteliti lebih jauh pada pasal 1 (6) dari Peraturan Bersama tersebut, maka didapatlah definisi “tempat proses belajar mengajar”, yaitu di dalam gedung kuliah. Maka, Kawasan Merokok dapat diadakan pada taman dan area lain selain gedung kuliah, yang dianggap sebagai tempat umum selama memenuhi persyaratan yang diterapkan pada pasal 5 Peraturan Bersama.
Keuntungan Pengadaan Kawasan Merokok dalam Kampus
Pasal 5 dari Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri memberikan deskripsi yang sangat jelas mengenai persyaratan suatu kawasan merokok. Kawasan Merokok harus mutlak memenuhi syarat-syarat berikut ini:
- Merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga dapat bersirkulasi dengan baik.
- Terpisah dari gedung/ruang/tempat utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas
- Jauh dari pintu masuk dan keluar
- Jauh dari tempat orang berlalu-lalang
Keuntungan dari Kawasan Khusus Merokok dapat dilihat dari persyaratan-persyaratan ini. Tentu saja, tujuan utamanya adalah menjauhkan efek buruk asap rokok dari orang-orang yang tidak merokok. Hal ini terutama berperan baik bagi kesehatan dan kenyamanan non-perokok. Dengan diletakkannya Kawasan Khusus Merokok di tempat terbuka (dianjurkan juga dipenuhi pepohonan) yang terpencil, terdapat pula suatu keuntungan lain, yaitu cepatnya asap rokok dimurnikan oleh tanaman-tanaman. Hal ini sangat membantu mengatasi permasalahan Sick Building Syndrome yang sulit terurai di dalam ruang tertutup.[5]
Dengan memisahkan Kawasan Khusus Merokok dengan tempat beraktivitas orang banyak, maka jumlah perokok pasif tentu saja akan menurun drastis. Hal ini terutama diakibatkan oleh berkurangnya kontak antara perokok pasif dengan asap rokok. Dengan demikian, lingkungan kampus menjadi lebih ramah bagi mahasiswa dan personel universitas yang tidak merokok. Kondisi kampus yang kondusif membuat produktifitas bertambah.
Kawasan Khusus Merokok juga bisa menjadi salah satu faktor yang mengurangi jumlah konsumsi tembakau. Sebagaimana telah dijelaskan, akses terhadap Kawasan Khusus Merokok tidak akan semudah biasanya karena lokasinya yang terpencil. Kerepotan yang ditawarkan seringkali dapat membuat para perokok malas untuk mencari Kawasan Merokok dan akhirnya membatalkan niatnya.
Manfaat-manfaat yang ditawarkan kebijakan ini memang sangat besar dan pelaksanaannya pun sederhana, namun merealisasikan kebijakan ini tidak mudah karena memerlukan komitmen dari seluruh civitas academica universitas.
Tantangan dan Penanggulangan yang Harus Dihadapi Pengadaan Kawasan Merokok dalam Kampus
Isu yang mencuat di tengah usaha untuk menerapkan kawasan merokok adalah ketiadaan sanksi yang jelas mengenai aturan merokok. Pasalnya, kampus bukanlah suatu tempat di mana polisi dapat berpatroli dan menegur setiap orang yang merokok sembarangan. Sementara itu, jika kita harus bergantung pada masyarakat, data yang telah diberikan di awal kajian ini sudah membuktikan bahwa jumlah perokok dalam masyarakat sangat besar, hingga merokok tidak lagi dianggap sebagai suatu penyimpangan sosial.
Oleh karena itu, beban untuk memastikan kebijakan ini berlangsung ada pada universitas yang memiliki wewenang di dalam kampus. Universitas harus menerapkan langkah-langkah berikut untuk memastikan berjalannya Kawasan Merokok:
- Menciptakan regulasi yang jelas dan tegas mengenai Kawasan Merokok, dengan menyiapkan pula mekanisme untuk menghukum setiap pelanggaran. Demi menjaga ketertiban, maka sanksi ini harus diterapkan untuk seluruh civitas academica, termasuk dosen dan staf universitas yang lain. Untuk siswa, sanksi akademis tampaknya memadai, sebagaimana telah diaplikasikan oleh Universitas Maranatha.[6] Sementara itu, sanksi bagi dosen dan staf universitas lain bisa berupa sanksi administratif berupa penundaan gaji serta penundaan kenaikan golongan.[7] Jika pelanggaran dilakukan oleh orang dari luar universitas, penanganan dapat dilakukan dengan menggunakan dasar hukum berupa UU No. 36 Tahun 2009 dan diserahkan pada pihak berwajib.
- Menyediakan sarana Kawasan merokok yang memadai. Sarana ini dapat berupa penentuan batas-batas kawasan merokok dengan fasilitas yang permanen, misalnya suatu pembatas kaca atau yang lainnya. Selain pembatas, sarana lain seperti tempat sampah tentunya merupakan kewajiban. Idealnya pihak universitas juga menyediakan alat penyaring asap rokok dan menambah penanaman pohon di area merokok untuk mempercepat pembersihan udara.
- Memberi pembinaan dan sosialisasi yang berskala besar dan intensif. Tanpa ada pembinaan dan sosialisasi intensif, maka peraturan ini tidak akan ditanggapi dengan serius oleh seluruh perokok. Dalam sosialisasi, sikap tegas kampus yang akan memberikan sanksi bagi setiap pelanggar harus dibuat sejelas mungkin, dan didemonstrasikan dengan keras pada tahap-tahap awal pengadaan kebijakan.
- Mengadakan sistem pengawasan dan pembinaan dengan bantuan seluruh civitas academica. Peraturan ini memerlukan pengawasan yang konstan. Namun, keterbatasan tenaga untuk memastikan berjalannya kebijakan ini tentu harus diatasi. Sesungguhnya, hal ini dapat dengan mudah diselesaikan dengan adanya pengawasan konstan yang berasal dari mahasiswa sendiri. Dukungan dari mahasiswa sudah terlihat melalui berbagai media sosial. Tinggal bagaimana universitas bisa merangkul gerakan-gerakan ini agar menjadi suatu kesatuan yang efektif dalam menegakkan kebijakan Kawasan Merokok di Kampus.
Kesimpulan
Kebijakan Pengadaan Kawasan Merokok dalam Kampus adalah suatu langkah yang positif bagi Universitas Padjadjaran, untuk mengisi kekosongan perhatian terhadap isu rokok dalam lingkungan kampus. Hal ini sesuai dengan sikap pemerintah dan merupakan suatu bentuk dukungan terhadap kesehatan masyarakat. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas seluruh civitas academica, membuat kampus lebih kondusif dan nyaman bagi semua orang, dan mengurangi jumlah perokok pasif. Meski demikian, kebijakan ini sangat riskan diabaikan oleh mahasiswa mengingat jumlah perokok yang besar dan minimnya sumber daya untuk menegakkan kebijakan ini. Solusinya, perlu ada mekanisme yang rapi, sarana yang memadai, sanksi yang tegas, dan kerjasama dengan mahasiswa untuk membuat kebijakan yang bergigi dan efektif dalam menjadikan Universitas Padjadjaran yang sehat dan nyaman.
Aisyah Shaumasari
Staff Biro Kajian Kebijakan Kampus dan Publik
Badan Eksekutif Mahasiswa FH UNPAD
[1]World Health Organization (WHO),”WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2013” (Appendix X- Table 10.1), 2013, hal.14
[2]Sharon Gondodiputro, dr., MARS, “Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau”, Bagian Ilmu Kesehatan Universitas Padjadjaran, 2007, hal. 2-8.
[3]Atau, dalam satu sisi, lemahnya pencegahan terhadap pemasaran ini oleh pemerintah. Indonesia tidak memiliki mass-media campaign untuk berhenti merokok, tidak memberlakukan pencegahan aktif terhadap pemasaran, promosi, dan sponsorship rokok, dan fakta bahwa pemerintah hanya mengalokasikan dana Rp 300.000.000,00 untuk mengontrol epidemi rokok. Untuk data lebih mendetail lihat: WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2013 (Appendix VII), hal 34.
[4]Berdasarkan Global Youth Tobacco Survey tahun 2009, persentase remaja perokok berusia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 41% untuk laki-laki dan 6,2% untuk wanita. Dari total populasi remaja, jumlah rata-ratanya adalah 22,5%. Ini memberikan estimasi kasar jumlah remaja perokok yang saat ini berusia 17-19 tahun.
[5]Aila Haris, Mukhtar Ikhsan, dan Rita Rogayah. “Asap Rokok sebagai Bahan Pencemar dalam Ruangan”. 2012. hal. 17-23; Aditama TY. Perokok pasif. In: Andi A. “Masalah Merokok dan Penanggulangannya”. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia; 2001. hal.10-4.
[7] if.itmaranatha.org/attachments/589_Sanksi%20Bagi%20Dosen%20dan%20Karyawan.pdf
10,776 Comments